Rabu, 08 Agustus 2012

HUKUM IKHTILAT

Hukum Ikhtilath
Hukum ikhtilath adalah haram berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
1)      Firman Allah subhânahu wa ta’âlâ dalam surah Al Ahzâb ayat 33:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.”
Berkata Imam Al Qurthubi dalam menafsirakan ayat ini: “Makna ayat ini adalah perintah untuk tetap berdiam atau tinggal di rumah, walaupun yang diperintah dalam ayat ini adalah para istri Nabi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam namun secara makna masuk pula selain dari istri-istri beliau Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam.” (Lihat Tafsirul Qurthubi: 4/179)
Dan Ibnu Katsir berkata tentang makna ayat ini: “Tinggallah kalian di rumah-rumah kalian, janganlah kalian keluar kecuali bila ada keperluan.”
2)      Firman Allah ‘Azza Wa Jalla dalam surah Al Isra’ ayat 32:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا

“Dan janganlah kalian mendekati zina.”
Larangan dalam ayat ini dengan konteks “Jangan kalian mendekati” menunjukkan bahwa Al Qur’an telah mengharamkan zina begitu pula pendahuluan-pendahuluan yang dapat mengantar kepada perbuatan zina serta sebab-sebabnya secara keseluruhan seperti melihat, ikhtilath, berkhalwat, tabarruj dan lain-lain.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/39).
3)      Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang dikeluarkan oleh Abu Daud dengan sanad yang hasan dari seluruh jalan-jalannya, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:

لَا تَمْنَعُوْا نِسَائَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

“Janganlah kalian melarang para perempuan kalian (untuk menghadiri) mesjid, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.”
Dan dengan lafazh yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar pula, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:

لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ.

“Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allah yang perempuan (untuk menghadiri) mesjid-mesjid Allah.”
Hadits ini menjelaskan tentang tidak wajibnya perempuan menghadiri sholat jama’ah bersama laki-laki di masjid, ini berarti boleh bagi perempuan untuk menghadiri sholat jama’ah di masjid akan tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka. Dan para ulama fuqaha’ sepakat tentang tidak wajibnya hal tersebut. Dan sebagian dari mereka memakruhkan untuk perempuan muda, adapun untuk perempuan yang telah tua maka mereka membolehkannya dan yang rajih adalah hukumnya boleh. (Lihat: Al Mufashshal Fii Ahkâmil Mar’ah: 3/424)
Berkata Imam An Nawawi dalam Syarah Shahîh Muslim (2/83): “Ini menunjukkan bolehnya perempuan ke masjid untuk menghadiri sholat jama’ah, tentunya bila memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syari’at. Di antaranya tidak keluar dengan menggunakan wangi-wangian, tidak berpakaian yang menyolok dan termasuk di dalamnya tidak bercampur atau ikhtilath dengan laki-laki yang bukan mahramnya.”
4)      Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari, beliau berkata:

اسْتَأْذَنْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ : جِهَادُكُنَّ الْحَجُّ.

“Saya meminta izin kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam untuk berjihad, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda: Jihad kalian adalah berhaji.”
Berkata Ibnu Baththal dalam Syarahnya sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (6/75-76): “Hadits ini menjelaskan bahwa jihad tidak diwajibkan bagi perempuan, hal ini disebabkan karena perempuan apabila berjihad maka tidak akan mampu menjaga dirinya dan juga akan terjadi percampurbauran antara laki-laki dan perempuan.”
5)      Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:

خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّه‍َا أَوَّلُهَا.

“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang. Dan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling belakang dan sejelek-jeleknya adalah yang paling awal.”
Berkata Imam An Nawawi dalam Syarah Shahîh Muslim: “Bahwa sesungguhnya shaf perempuan yang paling baik adalah yang paling belakang dan shaf laki-laki yang paling baik adalah yang paling awalnya, hal ini dikarenakan agar keadaan shaf perempuan dan shaf laki-laki saling menjauh sehingga tidak terjadi ikhtilath dan saling memandang satu dengan yang lainnya.”
Berkata Ash Shan’ani dalam Subulus Salam: “Dalam hadits ini menjelaskan sebab sunnahnya shaf perempuan berada di belakang shof laki-laki agar supaya keadaan tempat perempuan dan laki-laki dalam sholat saling menjauh sehingga tidak terjadi ikhtilath di antara mereka.”
Berkata Asy Syaukani dalam Nailul Authar (3/189): “Penyebab kebaikan shaf perempuan berada di belakang shaf laki-laki adalah karena tidak terjadi iktilath antara mereka.”
6)      Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari, beliau berkata:

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّيْ الصُّبْحَ بِغَلَسٍ فَيَنْصَرِفْنَ نِسَاءُ الْمُؤْمِنِيْنَ لَا يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ أَوْ لَا يَعْرِفُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا.

“Sesungguhnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam sholat Shubuh pada saat masih gelap maka para perempuan kaum mukminin kembali dan mereka tidak dikenali karena gelap atau sebagian mereka tidak mengenal sebagian yang lain.”
Hadits ini menjelaskan disunnahkannya bagi perempuan keluar dari masjid lebih dahulu daripada laki-laki ketika selesai shalat jama’ah, agar supaya tidak terjadi ikhtilath, saling pandang memandang atau hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syari’at.
Hal serupa dijelaskan pula dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha riwayat Imam Bukhari, beliau berkata:

أَنَّ النِّسَاءَ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كُنَّ إِذَا سَلَّمْنَ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ قُمْنَ وَثَبَتَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَمَنْ صَلَّى مِنَ الرِّجَالِ مَا شَاءَ اللهُ فَإِذَا قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَامَ الرِّجَالُ.

“Sesungguhnya para perempuan di zaman Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bila mereka salam dari sholat wajib, maka mereka berdiri dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam dan orang yang sholat bersama beliau dari kalangan laki-laki tetap di tempat mereka selama waktu yang diinginkan oleh Allah, bila Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam berdiri maka para lelaki juga berdiri.”
Berkata Asy Syaukani dalam Nailul Authar (2/315): “Dalam hadits ini terdapat hal yang menjelaskan tentang dibencinya ikhtilath antara laki-laki dan perempuan dalam perjalanan dan hal ini lebih terlarang lagi ketika ikhtilath terjadi dalam suatu tempat.”
Berkata Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (2/560): “Jika dalam jama’ah sholat terdapat laki-laki dan perempuan maka disunnahkan bagi laki-laki untuk tidak meninggalkan tempat sampai perempuan keluar meninggalkan jama’ah sebab kalau tidak, maka hal ini dapat membawa pada ikhtilath.
7)      Hadits Jabir Bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Imam Bukhari, beliau berkata:

قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ فَصَلَّى فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ ثُمَّ خَطَبَ فَلَمَّا فَرَغَ نَزَلَ فَأَتَى النِّسَاءَ فَذَكَّرَهُنَّ.

“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam berdiri pada hari Idul Fitri untuk Sholat maka beliau pun memulai dengan sholat kemudian berkhutbah. Tatkala beliau selesai, beliau turun lalu mendatangi para perempuan kemudian memperingati (baca: menasihati) mereka.”
Berkata Al Hafizh dalam Al Fath (2/466): “Perkataan “kemudian beliau mendatangi para perempuan” menunjukkan bahwa tempat perempuan terpisah dari tempat laki-laki, tidak dalam keadaan ikhtilath.
Berkata Imam An Nawawi dalam Syarah Shahîh Muslim (2/535): “Hadits ini menjelaskan bahwa perempuan-perempuan apabila menghadiri sholat jama’ah di mana jama’ah tersebut dihadiri pula oleh laki-laki maka tempat perempuan berisah dari tempat laki-laki hal ini untuk menghindari fitnah, saling memandang dan berbicara.”
8)      Firman Allah : “ Dan apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri nabi) maka mintalah dari belakang tabir (hijab). Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.” (Al-Ahzab : 53)
9)      Sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : “Hati-hatilah kalian untuk masuk ke tempat para wanita “ Maka salah seorang laki-laki dari kalangan anshar : “Bagaimana pendapatmu (Ya Rasulullah) tentang Al-Hamwu ?” Rasulullah menjawab : “ Al-Hamwu adalah kematian.” (Mutafaqqun ‘alaihi).
Al-Hamwu adalah kerabat suami, seperti saudara laki-lakinya (ipar), putra dari pamannya (saudara misan). Kekhawatiran terhadap Al-Hamwu ini justru lebih besar dibanding dengan kekhawatiran terhadap yang lain. Fitnahnya pun labih besar pula karena sangat mungkin baginya untuk berhubungan dengan pihak wanita (istri) dan berkhalwat dengannya tanpa adanya pengingkaran (kecurigaan), karena dianggap dari keluarga. Berbeda kalau laki-laki itu orang asing bukan keluarga si suami.
Maka makna dari hadits di atas adalah berhati-berhatilah (jauhilah) untuk bercampur baur (ikhtilat) dan bersepi-sepi (khalwat) dengan para wanita dengan tanpa adanya mahram si wanita.
10)  Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Janganlah salah seorang diantara kalian (laki-laki) bersepi-sepi (berkhalwat) dengan wanita malainkan harus disertai mahramnya.” (Mutafaqqun’alaihi).

1 komentar:

  1. Artikel yang bagus...
    sering-seringlah nulis artikel yang berbau ISLAM agar dapat manfaat dunia dan akherat...

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...